CERPEN SINGKAT
Fajar mulai merekah di balik bukit, cahaya yang membius kesunyianku. Aku mencoba menatapnya dalam kejauhan, sejauh jarak khayalanku. Ya, aku hanya menjadi hamba atas rinduku. Rindu yang telah memperbudakanku seakan aku menjadi ciptaan yang tak berdaya di hadapannya. Aku meneguk secangkir kopi yang ada di atas meja belajarku, melahapnya dengan penuh nikmat dan otakku serasa menemukan inspirasi baru di pagi hari. Aku terjatuh dalam pelukan rindu yang paling dasyat, membuat sekujur tubuh tak mampu bergerak dan hanya pikiran yang beraktivitas. Pikiranku mulai memutar kembali kenangan saat bersamanya. Pelukan hangat yang masih terasa dengan sebuah ciuman dengan kecupan manis darinya. Aku menatap matanya yang indah, seindah bulan purnama yang tak pernah menyimpan dusta. Ia sungguh mencintaiku dengan tulus sampai kata tak dapat membahasakanya.
Aku meraih kembali cangkir kopi, meneguknya sambil membayangkan ukiran senyum yang indah di pipinya dikala aku meremas jari-jemarinya. Aku terbius oleh cintanya yang suci dan ketulusan hatinya yang murni. Aku hanya menatap dirinya dengan khayalan yang tak pernah pudar. Jarak bukanlah menjadi pembatas yang memisahkan atau suatu keadaan yang kejam. Tetapi jarak adalah suatu keadaan yang memberi aku arti sebuah kerinduan. Kerinduan akan senyuman dan tingkah lakunya, ketika kami masih bersua di bawah atap dan suasana yang sama. Kerinduan yang mengajarkanku untuk mengingatnya setiap detik dan menit dalam hidupku. Rindu yang memberikan aku arti sebuah cinta yang harus diperjuangkan. Kata orang, rindu itu berat! Tetapi, bagiku rindu adalah sesuatu yang paling menarik dan indah ketika aku tersenyum membayang tentang dirinya yang jauh di sana.
Aku meraih kembali cangkir kopi, meneguknya sambil membayangkan ukiran senyum yang indah di pipinya dikala aku meremas jari-jemarinya. Aku terbius oleh cintanya yang suci dan ketulusan hatinya yang murni. Aku hanya menatap dirinya dengan khayalan yang tak pernah pudar. Jarak bukanlah menjadi pembatas yang memisahkan atau suatu keadaan yang kejam. Tetapi jarak adalah suatu keadaan yang memberi aku arti sebuah kerinduan. Kerinduan akan senyuman dan tingkah lakunya, ketika kami masih bersua di bawah atap dan suasana yang sama. Kerinduan yang mengajarkanku untuk mengingatnya setiap detik dan menit dalam hidupku. Rindu yang memberikan aku arti sebuah cinta yang harus diperjuangkan. Kata orang, rindu itu berat! Tetapi, bagiku rindu adalah sesuatu yang paling menarik dan indah ketika aku tersenyum membayang tentang dirinya yang jauh di sana.
Waktu tak pernah kulewati begitu saja saat bersama denganya, walaupun kata membisu tetapi senyuman tak pernah diam. Aku merekamnya dalam memoriku yang melampaui batas daya tampung alam semesta. Benar-benar terisi sampai tak ada satupun ruang kosong atau suasana yang dilewati. Aku membungkusnya dengan rapi dalam ingatanku, dengan balutan cinta yang tulus dari hatiku
Rindu, engkau memang menjadi raja atas diriku. Engkau membuatku tersenyum sendiri yang disaksikan oleh kesunyian kamar kecilku. Dinding kamar seakan bertanya-tanya dan menertawakanku “hey kenapa kamu tersenyum sendiri? apa kamu gila?” Hhhhh aku tidak gila, aku sedang membayangkan dirinya ada di sini saat ini, aku ingin ia berbincang denganku, membagi cerita disaat kami jauh, kembali tertawa dengan pelukan mesra. Aku ingin kenangan itu kembali menjadi realita, bukan sekadar khayalan berbalut rindu. Sungguh, aku mencintainya dengan ketulusan tanpa ragu, tanpa bimbang dan tanpa ada kata menyesal.
Tak sadar tanganku menggeserkan cangkir kopiku hingga tumpah, membasahi semua buku di atas meja. Mataku tak sengaja melirik jam yang ada di sampingku, jarum jam sudah menunjukkan pukul 10:00 Wita. Aku bergegas menuju kamar mandi dengan terburu-buru, hampir saja tersandung dengan meja belajar, aku tersenyum geli. Hm.….efek rindu yang membuatku lupa mandi pagi….hhhhhhhhh
Komentar
Posting Komentar